Jumat, 27 Juli 2012

Kebijakan Energi Terbarukan Tidak Tuntas

Energy Crisis: Renewable Energy Policy is not Complete.
“Pemerintah di era tahun 1970an dan tahun-tahun sebelumnya gagap menganalisa hubungan antara fenomena alam dan kebutuhan energi listrik,”

JAKARTA, JIA XIANG – Permasalahan perubahan iklim dan krisis minyak dunia menjadi krisis ganda bagi Indonesia.  Hal tersebut berdampak langsung pada melonjaknya kebutuhan energi listrik dan bahan bakar.  Sebagai institusi pendidikan, Universitas Kristen Indonesia (UKI) mencari solusinya dengan terus mengembangkan energi terbarukan (renewable energy).
Dampak perubahan iklim disebabkan melonjaknya emisi gas rumah kaca (CO2 , Sulfur dan lainnya) di lapisan atmosfir bumi.  Lonjakan itu dipicu oleh pemanfaatan secara berlebihan terhadap batubara, minyak bumi, dan gas alam yang menjadi sumber energi bagi kegiatan industri, transportasi, dan tenaga listrik. Sementara itu, krisis minyak dunia berimbas langsung pada naiknya harga minyak di dalam negeri. Selama ini, kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia sama banyaknya dengan ekspor minyak yang diproduksi sendiri. Akibatnya beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah makin bertambah.
Sebab Akibat
Menurut Ketua Center for Research and Policy Study of Renewable Energy Applications, Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D., kedua aspek di atas terlambat diantisipasi pemerintah di masa itu sehingga menimbulkan permasalahan bagi sistem energi listrik Indonesia saat ini.  Seharusnya, dari fenomena yang muncul, negara sudah mengambil kebijakan guna mendorong pihak terkait untuk mencari energi alternatif  dan terbarukan. “Pemerintah di era 1970an dan tahun-tahun sebelumnya gagap menganalisa hubungan antara fenomena alam dan kebutuhan energi listrik”, ungkap Atmonobudi kepada Jia Xiang Hometown, Senin (5/3/2012) di kampus UKI, Jakarta Timur.
Menurut Atmonobudi Indonesia baru menyadari keadaan seperti itu pada 10 tahun belakangan. Dari situ pemerintah mulai membangun pembangkit-pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal energi), seperti yang terdapat di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah dan Kamojang, Cikampek, Jawa Barat. “Padahal 40% dari kebutuhan panas bumi dunia terdapat di Indonesia, sebab ada 200 gunung berapi aktif yang menjadi sumber energi panas bumi,” ungkap pakar energi ini.

Untuk mengejar ketertinggalannya, Indonesia terus mencari cara agar bisa memanfaatkan energi alternatif yang sesungguhnya sudah tersedia di bumi ini.  Misalnya listrik yang bersumber dari energi angin, gelombang laut, sinar matahari, dan bio masa.  Namun kebijakan pemerintah yang belum total mendukung program pengembangan energi terbarukan menjadi kendala serius.  “Bagaimana bisa melahirkan regulasi dan produk Undang-Undang yang baik bila Pemerintah dan DPR kurang paham permasalahan energi listrik dan lingkungan,” tandas professor UKI ini.   [JX] Ivan W. Lawendatu.

Sumber:  Jia Xiang Hometown, Edisi 8.

Tidak ada komentar: