Sabtu, 20 Oktober 2012

TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI BIODIESEL
Kristen Bell on 'Letterman'
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia namun sampai saat ini masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar minyak di sektor transportasi dan energi.

Kenaikan harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini memberi dampak yang
besar pada perekonomian nasional, terutama dengan adanya kenaikan harga
BBM. Kenaikan harga BBM secara langsung berakibat pada naiknya biaya
transportasi, biaya produksi industri dan pembangkitan tenaga listrik. 

Dalam jangka panjang impor BBM ini akan makin mendominasi penyediaan energi nasional apabila tidak ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan penganekaragaman energi dengan memanfaatkan energi terbaharukan dan lain-lain.

Biodiesel salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, tidak mempunyai efek terhadap kesehatan yang dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak diesel. 

Proses Pembuatan Minyak Nabati Menjadi Biodiesel.
 
• Minyak nabati merupakan trigliserida melalui reaksi transesterifikasi dengan methanol akan menghasilkan, gliserin, metil stearate, metil oleate. 
Metil oleate atau biodiesel dan gliserin harus dipisahkan melalui suatu tangki-pengendap. Setelah gliserin dipisahkan larutan dicuci dengan air dan selanjutnya didistilasi sehingga menghasilkan biodiesel sesuai standard yang diinginkan.
 
• Masalah yang timbul pada proses transestrifikasi dengan metoda relatif mahal, disamping itu hasil samping gliserin harus diproses lagi agar dapat dimanfaatkan lagi untuk industri terkait lainnya.
 
• Produk akhir yaitu biodiesel merupakan bahan bakar untuk mesin/motor menghasilkan emisi NOx lebih sedikit tinggi, tetapi emisi CO yang lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dalam pemanfaatan BBM.


TEKNOLOGI PROSES PEMBUATAN BIO-DIESEL


Teori Dasar Pembuatan Biodiesel
Di Indonesia terdapat lebih 50 jenis tanaman yang dapat menghasilkan minyak nabati baik untuk non pangan maupun pangan, namun hanya beberapa jenis yang dapat diolah menjadi minyak nabati untuk bahan baku pembuatan biodiesel., 

Tabel1. Namun dari ke tujuh tanaman yang paling layak Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak
20 diolah dan siap diolah sebagai biodiesel di Indonesia yaitu kelapa sawit.

Sedangkan lainnya masih memerlukan penelitian dan budi daya tanaman tersebut karena tidak cukup tersedia untuk industri biodiesel.

Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters (biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. 

Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas/lemak daur ulang.
Semua bahan baku ini mengandung trigliserida, asam lemak bebas (ALB) dan zat-pencemar dimana tergantung pada pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut. 

Sedangkan sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada ini pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis dibutuhkan karena alkohol larut dalam minyak. 

Minyak nabati kandungan asam lemak bebas lebih rendah dari pada lemak hewani, minyak nabati biasanya selain mengandung ALB juga mengandung phospholipids, phospholipids dapat dihilangkan pada proses degumming dan ALB dihilangkan pada proses refining. 

Minyak nabati yang digunakan dapat dalam bentuk minyak Produk biodiesel tergantung pada minyak nabati yang digunakan
sebagai bahan baku seta pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut.

Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol, isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alcohol tersebut. 

Bila kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel kualitasnya rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trig;iserida tinggi. 

Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi proses produksi, lamanya waktu
pencampuran atau kecepatan pencampuran alkohol.

Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu NaOH atau KOH atau natrium metoksida. 

Katalis yang akan dipilih tergantung minyak nabati yang digunakan, apabila digunakan minyak mentah dengan kandungan ALB kurang dari 2 %, disamping terbentuk sabun dan juga gliserin. Katalis tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk larutan kimia yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol. 

Jika banyak air yang diserap oleh katalis maka kerja katalis kurang baik sehingga produk biodiesel kurang baik. Setelah reaksi selesai, katalis harus di netralkan dengan penambahan asam mineral kuat. 

Setelah biodiesel dicuci proses netralisasi juga dapat dilakukan dengan penambahan air pencuci, HCl juga dapat dipakai untuk proses netralisasi katalis basa, bila digunakan asam phosphate akan menghasil pupuk phosphat(K3PO4)

Proses dasar pembuatan biodiesel lihat Gambar 1. Proses transesterifikasi yang umum untuk membuat biodiesel dari minyak nabati (biolipid) ada tiga macam yaitu :

! Transesterifikasi dengan Katalis Basa
! Transesterifikasi dengan Katalis Asam Langsung
! Konversi minyak/lemak nabati menjadi asam lemak dilanjutkan menjadi biodiesel

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

Gambar 1. Blok Diagram Proses Biodiesel
Hampir semua biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi
dengan katalisator basa karena merupakan proses yang ekonomis dan hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah. 

Hasil konversi yang bisa dicapai dari proses ini adalah bisa mencapai 98%. 

Proses ini merupakan metode yang cukup krusial untuk memproduksi biodiesel dari minyak/lemak nabati. Proses transesterifikasi merupakan reaksi dari trigliserin (lemak/minyak) dengan bioalkohol (methanol atau ethanol) untuk membentuk ester dan gliserol.

Minyak nabati dengan kadar asam lemak bebas (ALB)-nya rendah (<1%), bila lebih, maka perlu pretreatment karena berakibat pada rendahnya kinerja efisiensi. Padahal standar perdagangan dunia kadar ALB yang diijinkan hingga 5%. Jadi untuk minyak nabati dengan kadar ALB >1%, perlu dilakukan deasidifikasi dengan reaksi metanolisis atau dengan gliserol kasar.

Secara sederhana reaksi transesterifikasi dapat digambar sebagai berikut :
100 lbs Minyak Nabati + 10 lbs Methanol -" 100 lbs Biodiesel + 10 lbs gliserol R1, R2, dan R3 adalah alkil dari ester. 

Selama proses esterifikasi, trigliserin bereaksi dengan alkohol dengan katalisator alkalin kuat (NaOH, KOH atau sodium silikat). Jumlah katalisator yang digunakan dalam proses titrasi ini adalah cukup menentukan dalam memproduksi biodiesel. 

Secara empiris, 6,25gr/l NaOH adalah konsentrasi yang memadai. Reaksi antara biolipid dan alkohol adalah reaksi dapat balik (reversible) sehingga alkohol harus diberikan berlebih untuk mendorong reaksi kekanan dan mendapatkan konversi yang
sempurna.

Apabila triolein dalam minyak nabati beraksi dengan methanol akan
menghasilkan 3 molekul methil oleat inilah yang disebut sebagai biodiesel dan satu molekul gliserol.
Berat molekul triolein 885,45 sehingga berat 1 molekul triolein 885,46 grm. Tiga molekul methanol beratnya 96,12 grm, 3 molekul methil oleat beratnya 889,5 grm sedangkan berat satu molekul gliserol 92,12grm. 

Methanol yang ditambahkan pada pembentukan triolein biasanya antara 60 – 100% ekses methanol reaksinya sempurna, reaksinya sebagai berikut :

885,46gr Triolein bereaksi dengan 2 x 32,04gr – 192,24 gr dengan katalis Natrium Hidroksida atau Potasium Hidrosida akan menghasilkan 3 x 296,50gr = 889,50 gr methil oleat dan 92,10 gr gliserol serta 96,12 xsmethanol.

Proses Produksi Biodiesel

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kadar asam lemak bebas harus kurang dari 1%. Selain itu instalasi biodiesel juga mensyaratkan bahwa ukuran partikel asam lemak bebas harus < 5 mikrometer. 
Bila kondisi ini tidak terpenuhi, diperlukan proses persiapan sebagai berikut:

! Filtrasi hingga 5 mikrometer
! Pencucian dengan air
! Dekantasi
! Pemanasan minyak
! Dekantasi kedua

Bila dalam minyak nabati kadar airnya cukup tinggi, maka setelah
dekantasi kedua dilakukan pengeringan disamping itu perlu diperhatikan adalah minyak mudah larut dalam alkohol.
Secara ringkas tahapan proses dari pembuatan biodiesel (Gambar 

4.) adalah sebagai berikut:
! Jika kandungan asam lemak bebas dan air terlalu tinggi, hal ini akan mengakibatkan pembentukan sabun (saponifikasi) dan menimbulkan masalah pada pemisahan gliserol nantinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pendahuluan bahan baku dilakukan proses degumming dan refined

! Katalis dilarutkan dalam methanol dengan menggunakan mixer atau agitator standar.

! Campuran methanol dan katalis dimasukkan ke dalam reaktor tertutup baru kemudian ditambahkan minyak nabati. Sistem harus tertutup total untuk menghindari penguapan methanol.

! Reaksi dijaga pada suhu diatas titik didih alkohol (sekitar 70 oC) guna mempercepat reaksi meskipun beberapa sistem merekomendasikan suhu kamar. Lama reaksi adalah 1 – 8 jam. Pemberian methanol berlebih diperlukan untuk memastikan konversi yang sempurna.

! Meskipun densitas gliserol lebih tinggi daripada biodiesel sehingga gliserol tertarik ke bawah karena gravitasi, alat sentrifugal masih diperlukan untuk mempercepat pemisahan kedua senyawa tersebut. Setelah terjadi pemisahan gliserol dan biodiesel , kelebihan methanol diambil dengan proses evaporasi atau distilasi.

! Produk samping gliserol yang masih mengandung katalis dan sabun selanjutnya dinetralkan dengan larutan asam sulfat.

! Setelah biodiesel dipisahkan dari gliserol selanjutnya dimurnikan lagi dengan air hangat untuk membuang sisa-sia katalis atau sabun. Lalu dikeringkan dan dikirim ke tangki penyimpan biodiesel.

Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Proses Biodiesel
Teknologi proses biodiesel yang umum digunakan pada skala komersial yaitu transesterifikasi antara minyak nabati dan metanol menggunakan katalis basa NaOH atau KOH (Gambar 4.). \

Sebaiknya digunakan minyak nabati dalam hal ini CPO yang kadar asam lemak bebas (ALB)-nya rendah (< 1%). Apabila ALB lebih, maka perlu dilakukan pretreatment karena dapat mengakibatkan
efisiensi proses rendah. Padahal standar perdagangan minyak nabati dunia mengizinkan kadar ALB hingga 5 persen. 

Sehingga minyak nabati dengan kadar> 1%, perlu dilakukan proses deasidifikasi dapat pula dilakukan reaksi metanolisis atau dengan gliserol kasar seperti yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.

Apabila digunakan katalis basa 0,75 persen dengan dua tahapan
transesterifikasi, pemurnian minyak nabati tidak perlu dilakukan dengan pencucian, tetapi cukup dengan mendiamkannya selama 2-4 hari. 

Melalui teknik ini, produk samping gliserin yang bernilaii ekonomi cukup tinggi dapat diperoleh secara efisien. Adapun spesifikasi biodiesel seperti pada Tabel 2.

Biodiesel sebagai bahan bakar motor diesel dapat digunakan dalam
keadaan murni atau dicampur dengan minyak diesel dengan perbandingan tertentu. 

Spesifikasi biodiesel yang dihasilkan tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku dan kondisi operasi pabrik serta modifikasi dari peralatan yang digunakan. 

Biodiesel sebagai bahan bakar motor diesel dapat dikatakan layak karena angka cetannya minimal 47, sedangkan minyak diesel angka cetan sekitar 50. 

Apabila angka biodiesel terlalu dapat merusak motor. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2010 diperkirakan mencapai areal seluas 10 juta ha dengan total produksi CPO 15 juta ton. 

Melimpahnya produksi CPO di pasar dunia akan mengganggu stabilitas harga CPO, maka pemanfaatannya untuk produksi biodiesel minyak sawit diharapkan bisa menjadi stabilitator harga CPO.
Penyerapan pasokan CPO untuk bahan baku biodiesel dapat ditingkatkan lagi, tetapi masih membutuhkan subsidi agar harga jualnya kompetitif. 

Apabila 20 persen minyak sawit dengan harga Rp 4.000 per liter dan 80 persen minyak diesel/solar (Rp 1.700 per liter) akan diperoleh harga jual Rp 2.160 per liter. Volume CPO yang terserap bisa mencapai 4,6 juta ton dengan subsidi mencapai Rp 460 per liter (27 persen) guna menjaga harga jual di tingkat Rp
1.700 per liter atau sekitar Rp 1,9 triliun. 

Pada kondisi seperti ini tentu saja para investor menunggu kebijakan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung guna mengembangkan industri biodiesel di Tanah Air. 

Dari sisi anggaran tampaknya tak terlalu sulit jika sebagian dari subsidi BBM yang diperkirakan mencapai Rp 66 triliun dapat dialokasikan untuk program ini.

Pilihan terhadap pembangunan industri biodiesel diharapkan mengurangi ketergantungan pada produk impor BBM. Sumber daya alam kelapa sawit yang melimpah di Indonesia dan ketersediaan teknologi proses serta SDM dapat diharapkan hasil produksi industri biodiesel dapat menggantikan kedudukan BBM.

Pabrik Biodiesel di Indonesia
Program pengembangan biodiesel sebagai substitusi minyak solar,
merupakan langkah yang berani, tetapi sangat tepat mengingat sumberdaya minyak bumi Indonesia yang sangat terbatas dan impor minyak solar yang sangat tinggi. 

BPPT telah mendisain dan membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,5 ton per hari, seperti terlihat pada Gambar 5. 

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak Selain dari prototipe tersebut, Tim BPPT juga telah mendirikan pabrik biodiesel dengan kapasitas 8 ton per hari tipe bach bekerja sama dengan Pemda Provinsi Riau.

Pada tahun 2006 didirikan pabrik (pilot plant) Biodiesel skala 3
ton/hari tipe kontinyu berlokasi di Pusat Penelitian dan  Pengembangan Teknologi (Puspiptek) Serpong. 

Pada tahun 2007 akan diselesaikan detail disain dari pabrik Biodiesel skala komersial 30.000 ton per tahun atau 80 ton per hari.


Gambar 5. Pabrik Biodiesel (1,5 T/hari)

KESIMPULAN

1. Proses transesterifikasi merupakan proses utama pembuatan biodiesel karena disini merupakan kunci terbentuk methyl oleat yang disebut sebagai biodiesel. Pada tahapan proses harus ditentukan pereaksi dan katalis yang akan digunakan, untuk bahan baku CPO maka sebaiknya pereaksi yang digunakan methanol dengan katalis NaOH atau KOH.

2. Minyak nabati merupakan campuran trigliserida dengan Asam Lemak Bebas (ALB), komposisi minyak nabati tergantung pada tanaman penghasil minyak tersebut. Kandungan ALB akan mempengaruhi proses produksi biodiesel dan bahan bakar yang dihasilkan.

3. CPO merupakan bahan baku yang layak untuk pembuatan biodiesel karena kadar ALB kurang dari 1 %, sehingga tidak memerlukan proses pendahuluan untuk mengolah minyak nabati tersebut seperti proses degumming dan refined. 

Namun bila kandungan ALB dan air terlalu tinggi, mengakibatkan terjadinya penyabunan (saponifikasi) dan akan menimbulkan masalah pada pemisahan gliserol sebagai produk sampingan sehingga kedua proses tersebut diperlukan.

4. Dalam pendirian suatu pabrik biodiesel perlu dilakukan kajian beberapa teknologi agar mendapat hasil yang optimum dari biodiesel dengan memperhatikan spesifikasi minyak nabati yang digunakan, kapasitas produksi, daur ulang pemakaian alkohol dan katalis. 

Faktor yang sangat dominant dalam pendirian pabrik biodiesel adalah harga bahan baku dengan biaya kapital. Oleh karena sebelum dilakukan kajian kelayakan pendirian pabrik biodiesel perlu dilakukan kajian dari hasil kajian pabrik
biodiesel skala kecil.

5. Peluang dan potensi pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku pembuatan biodiesel akan mendorong perkembangan industri sawit nasional dan dapat meningkatkan usaha perkebunan kelapa sawit terutamadalam mengangkat keterpurukan perekonomian secara nasional, khususnya masyarakat petani kelapa sawit.

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

Sekian, Terima kasih telah membacanya!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terimakasih infonya
good job